Jumat, 29 April 2016

KELOMPOK 2 INTEGRASI NASIONAL


Nama Kelompok :
Ajeng Bungah Reskina
Nurul Hikmah
Ratih Yuni Pratiwi
Rumiady Desteni Silitonga
Widya Puji Lestari
BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar belakang
Dewasa ini, pengetahuan kita mengenai kebudayaan Indonesia sangatlah kurang, anak muda zaman sekarang lebih megetahui tentang moderanisasi ketimbang tradisional. Pengaruh kebudayaan luar menyebabkan kurangnya pengetahuan kita mengenai proses kebudayaan tentang ada di Indonesia. Kurangnya pengetahuan akan hak dan kewajiban kita sebagai warga Negara menimbulkan hilangnya rasa persatuan kita baik terhadap sesama maupun Negara. Masing-masing Individu lebih mementingkan kepentingannya sendiri, tanpa ada rasa peduli terhadap sesamanya.
Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, haruslah memiliki rasa Integrasi nasional. Yaitu suatu sikaf kepedulian terhadap sesama serta memiliki rasa persatuan yang tinggi, baik terhadap Bangsa Negara, Agama serta Keluarga.
Dalam makalah ini, kami ingin menjelaskan tantang makna Integrasi Nasional, serta penyebab terjadinya integrasi nasional dan upaya yang harus dilakukan dalam integrasi nasional.

B.        Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah ada, maka rumusan permasalahatan yang terkait dengan Integrasi Nasional diantaranya :
1.      Apa definisi Integrasi Nasional
2.      Bagaimana gambaran realitas Indonesia yang plural dan multicultural
3.      Bagaimana pentingnya integrasi dalam masyarakat multicultural
4.      Apa potensi konflik dalam masyarakat plural
5.      Apa faktor yang dapat mengancam integrasi
6.      Apa upaya yang dilakukan untuk membangun integrasi

C.        Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui tentang integrasi nasional di Indonesia. Serta ingin memperluas ilmu pengetahuan social.

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Integrasi Nasional
Istilah Integrasi Nasional berasal dari dua kata yakni Integrasi dan Nasional. Menurut istilah Integrasi mempunyai arti sebagai  pembaruan atau penyatuan, sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
Menurut istilah Nasional mempunyai arti sebagai kebangsaan. Yang meliputi suatu bangsa seperti ciri-ciri nasional, tarian tradisional, perusahaan nasional. Sehubungan dengan penjelasan kedua istilah diatas, maka integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya ke dalam suatu wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa. Yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan dan keseimbangan dalam menapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa.
Integrasi nasional sebagai suatu konsep dalam ikatan  dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Indonesia yang berlandaskan pada aliran pemikiran atau paham integralistik yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi nasional mempunyai arti dua macam, yaitu:
1.              Secara politis, integrasi nasional adalah proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah nasional yang membentuk suatu identitas nasional.
2.              Secara antropologis, integrasi nasional adalah proses penyesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang berbeda,
sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Perwujudan integrasi nasional masyarakat dan budaya bangsa Indonesia yang heterogen ( beraneka macam ) itu diungkapkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda suku bangsa, agama, budaya daerah, tetapi tetap satu bangsa.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh seorang Empu terkenal di Kerajaan Majapahit, yaitu Empu Tantular, dalam kitab Sutasoma.
Menurut Saafroedin Bahar, integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya (Bahar, 1998). Dengan demikian, dalam makna integrasi ada upaya atau usaha untuk menyatukan unsur-unsur yang semula terpisah-pisah, yang dalam konteks kebangsaan berarti penyatuan (suku) bangsa yang berbeda dari satu komunitas atau masyarakat menjadi suatu bangsa yang utuh; sehingga integrasi lebih merupakan peralihan dari masyarakat berskala kecil menjadi masyarakat yang besar. (Wrigins, 1996).
Lebih lanjut, Myron Weiner (1971) menjelaskan pengertian integrasi juga terkait dengan identitas nasional dengan menjelaskan bahwa integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial dalam suatu wilayah dan proses pembentukan identitas nasional; membangun rasa kebangsaan dengan cara menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan yang lebih sempit; ini disebutnya sebagai integrasi nasional. Selain integrasi nasional, Weiner juga menyebut integrasi wilayah (pembentukan wewenang pusat atas unit-unit sosial lebih kecil), integrasi nilai (mendekatkan perbedaan-perbedaan aspirasi dan nilai antar kelompok), integrasi elit-massa (consensus terhadap nilai minimum yang disepakati untuk memelihara tertib sosial), dan integrasi tingkah laku (penciptaan tingkah laku yang terintegrasi untuk tujuan bersama).
Howard Wriggins (1996) menjelaskan proses pembentukan integrasi nasional yang terkait dengan faktor yang pada akhirnya memnentukan karakter integrasi nasional dimaksud, yaitu :
1.      Adanya ancaman dari luar
2.      Gaya politik kepemimpinan yang diterapkan
3.      Kekuatan lembaga-lembaga politik
4.      Ideology nasional
5.      Kesempatan pembangunan ekonomi
Oleh karena itu, proses integrasi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dalam suatu masyarakat bangsa. Menurut Sunyoto Usman (1998), suatu masyarakat dapat terintegrasi dengan baik apabila:
1.      Masyarakat dapat menemukan dan menyepakati nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan rujukan bersama,
2.      Masyarakat terhimpun dalam unit sosial dan sekaligus memiliki “cross cutting affiliation” sehingga menghasilkan “cross cutting layality”.
3.      Masyarakat berada di atas saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Dapat dikatakan bahwa integrasi terbentuk berdasarkan adanya perbedaan-perbedaan yang timbul antar komunitas yang berpotensi konflik, dan untuk mencegah konflik meruncing dan menjadi masalah serius, disepakatilah kondisi tertentu sesuai dengan dinamika masyarakat dimaksud sehingga tercapai tertib sosial yang diinginkan.
Gambaran Realitas Indonesia yang Plural dan Multikultural

Manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Corak masyarakat Indonesia adalah ber-Bhenika Tungal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat.
Masyarakat yang plural merupakan “belati” bermata ganda dimana pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan. Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kompetensi ketrampilan, melainkan lebih banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.
Sedangkan pluralitas sebagai kutukan akan menimbulkan sikap penafian terhadap yang lain, baik individu ataupun kelompok, karena dianggap berbeda dengan dirinya, dan perbedaan dianggap menyimpang atau salah. Penafian terhadap yang lain, pada hakekatnya adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu atau komunitas.
Menurut Suparlan yang mengutip dari Fay,  Jary dan J. Jary dalam acuan utama masyarakat yang multikultural adalah multikulturalisme, yakni sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam  kesedrajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual.
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama yakni :
1.    kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition).
2.    legitimasi keanekaragaman budaya atau pluralisme budaya.
Masyarakat yang  adil bukanlah hanya menjamin the greatest good for the greates number yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada self interest dan aspirasi pengenal dari seseorang.
Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip yakni :
1.    Setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain.
2.    Setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan.
            Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokrasi konstitusional.
Azyumardi Azra mengatakan, bahwa konsep kerangka masyarakat multikultural dan multi kulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhenika Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan.
Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendisein kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang  Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang  asing. Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik, demokrasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan mutu produktivitas.
Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam memahami multiklturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan  dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan.
Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.
Pentingnya integrasi nasional dalam masyarakat pluralitas
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistic dengan ribuan suku bangsa yang memiliki anera ragam cara hidup, nilai, norma, adat, dan budaya yang berpotensi konflik. Sejarah kebangsaan Indonesia telah mencatat beberapa peristiwa yang berujung pada ancaman disintegrasi karena tajamnya konflik yang muncul. Konflik Poso, Papua, Aceh, dan Timor Timur yang berhasil secara resmi lepas dari Indonesia membuktikan bahwa masyarakat plural seperti Indonesia sangat memerlukan konsep dan wadah yang dapat mempersatukan suku-suku bangsa tersebut. Identitas nasional adalah konsep pemersatu dimaksud dan untegrasi nasional adalah rencana aksinya.
v  Pluralitas Masyarakat Indonesia
Pluralitas masyarakat Indonesia mencakup berbagai aspek: agama, sosial, adat istiadat, dan budaya. Dalam perspektif budaya, keberagaman dimaksud disebut multikultur. Masyarakat multikultur menurut Parekh (2008:12) adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social organizations, historis, customs, and practices”).
Dengan demikian, basis keberagaman bangsa Indonesia adalah komunitas budaya yang diwakili oleh suku bangsa-suku bangsa. Menurut data Badan Pusat Statistika, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia berdasarkan hasil sensus 2010 dengan leboh dari 300 kelompok etnik. Satu kelompok etnik bisa terdiri dari beberapa suku bangsa. Sebagai gambaran proporsi suku bangsa menurut hasil sensus BPS 2010 di atas, terlihat sebagai berikut:
Suku Bangsa
Populasi
Presentasi
Kawasan Utama
Suku Jawa
86,012
41,7
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung
Suku Sunda
31, 765
15,4
Jawa Barat
Tionghoa – Indonesia
7,776
3,7
Jabodetabek, Bandung, Kalimantan Barat, Surabaya, Banga Belitung, Kepulauan Riau, Medan, Bagan Siapi-api, Jambi, Palembang, Makassar, Manado
Suku Melayu
7,013
3,4
Pesisir Timur Sumatra, Kalimantan Barat
Suku Madura
6,807
3,3
Pulau Madura
Suku Batak
6,188
3,0
Sumatera Utara
Minangkabau
5,569
2,7
Sumatera Barat, Riau
Suku Betawi
5,157
2,5
Jakarta
Suku Bugis
5,157
2,5
Sulawesi Selatan
Arab - Indonesia
5,000
2,4
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah
Suku Banten
4,331
2,1
Banten
Suku Banjar
3,506
1,7
Kalimantan Selatan
Suku Bali
3,094
1,5
Pulau Bali
Suku Sasak
2,681
1,3
Pulau Lombok
Suku Makassar
2,063
1,0
Sulawesi Selatan
Suku Cirebon
1,856
0,9
Jawa Barat

Pluralitas masyarakat Indonesia menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang majemuk. Menurut Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub – sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan – ikatan yang bersifat primordial. (Geertz, 1963: 105 dst). Apa yang dikatakan sebagai ikatan sebagai ikatan primordial disini adalah ikatan yang muncul dari perasaan yang lahir dari apa yang ada dalam kehidupan sosial, yang sebagian besar berasal dari hubungan kelurga, ikatan kesukuan tertentu, keanggotaan dalam keagamaan tertentu, budaya, bahasa atau dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang membawakan ikatan yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat.
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik. Secara horizontal masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertical sturktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. (Nasikun, 1994: 28).
Dalam dimensi horizontal kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari adanya berbagai macam suku bangsa seperti suku bangsa Jawa, suku bangsa Sunda, suku bangsa Batak, suku bangsa Minangkabau, suku bangsa Dayak, dan masih banyak yang lain. Tentang berapa jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia, ternyata terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara para ahli tentang Indonesia. Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya leboh dari 300 suku bangsa di Indonesia dengan bahasa dan identitas kulturalnya masing-masing. Sedangkan Skinner menyebutkan lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang mencolok dari jumlah suku bangsa yang disebutkan di atas bisa terjadi karena perbedaan dalam melihat unsur-unsur keragaman pada masing-masing suku bangsa tersebut. Anggota masing-masing suku bangsa cenderung memiliki identitas tersendiri sebagai anggota suku bangsa yang bersangkutan, sehingga dalam keadaan tertentu mereka mewujudkan rasa setiakawan, solidaritas dengan sesame suku bangsa asal. (Bachtiar, 1992: 12).
Berkaitan erat dengan keragaman suku sebagaimana dikemukakan di atas adalah keragaman adat-istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia masing-masing memilliki adat istiadat, budaya, dan bahasanya yang berbeda satu sama lain, yang sekarang dikenal sebagai adat-istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Kebudayaan suku selain terdiri atas nilai-nilai dan aturan-aturan tertentu, juga terdiri atas kepercayaan-kepercayaan tertentu, pengetahuan tertentu, serta sastra dan seni yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebanyak suku bangsa yang ada di Indonesia, setidak-tidaknya sebanyak itu pula dapat dijumpai keragaman adat-istiadat, budaya serta bahasa daerah di Indonesia.
Dalam perkembangannya, batasan suku bangsa tidak lagi mangcu pada suku bangsa asli Indonesia. Berdasarkan data statistik di atas, Tinghoan dan Arab dimasukan sebagai kelompok etnis yang jumlahnya proporsinya di Indonesia cukup signifikan. Kelompok etnis ini juga memiliki kebudayaannya tersendiri, yang tidak mesti sama dengan budaya suku-suku asli di Indonesia, sehingga muncul budaya orang-orang Cina, budaya orang Arab, budaya orang India, dan lain-lain. Kadang-kadang mereka juga menampakkan diri dalam kesatuan tempat tinggal, sehingga di kota-kota besar di Indonesia dijumpai adanya sebutan Kampung Pecinan, Kampung Arab, dan mungkin masih ada yang lain.
Keberagaman suku bangsa di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas terutama disebabkan oleh keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulang yang sangat banyak dan letaknya yang saling berjauhan. Dalam kondisi yang demikian nenek moyang Indonesia yang kira-kira 2000 tahun SM secara bergelombang datang dari daerah yang sekarang dikenal sebagai daerah Tiongkok Selatan, mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah satu sama lain. Karena isolasi geografis antara satu pulau dengan pulau yang lain, mengakibatkan masing-masing penghuni pulau itu dalam waktu yang cukup lama mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri terpisah satu sama lain. Di situlah secara perlahan-lahan identitas kesukuan itu terbentuk, atas keyakinan bahwa mereka masing-masing berasal dari satu nenek moyang, dan memiliki kebudayaan yang berada dari kebudayaan suku yang lain.
Kemajemukan lainnya dalam masyarakat Indonesia ditampilkan dalam wujud keberagaman agama. Menurut penjelasan pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1/Pnps Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, agama yang dimaskud disini adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan Penpres atau peraturan perundangan lainnya.
Beragamnya agama di Indonesia  tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan letak geografis Indonesia yang berada diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Posisi ini memungkinkan Indonsia mengalami arus lalu lintas perdagangan dan mendapatkan pengaruh budaya dari para pedagang yang melintas di wilayah tersebut termasuk agama yang dianut oleh para pedagang tersebut. Tercatat bahwa agama pertama yang berpengaruh di Indonesia adalah agama Hindu dan Budha yang dibawa oleh para pedagang dari India kira-kira pada tahun 400 Masehi disusul dengan Islam kira-kira pada tahun 1300 Masehi. Kemudian agama Kristen dan Katholik masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Eropa kira-kira tahun 1500 Masehi.
Strategi mewujudkan integrasi nasional di Indonesia
Mengingat potensi konflik dalam masyarakat yang besar, maka perlu disusun strategi pengelolaan dan penyelesain konflik dimaksud demi terwujudnya integrasi nasional. Terdapat beberapa pendekatan dalam upaya menangani konflik yang kadang-kadang juga dipandang sebagai suatu proses. Secara umum, menurut Fisher pengelolaan konflik dilaksanakan dalam tahapan:
ü  Pencegahan konflik, merupakan upaya untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
ü  Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian
ü  Pengelolaan konflik bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku pihak-pihak yang terlibat ke arah positif
ü  Resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama antara pihak-pihak yang bersengketa
ü  Transformasi konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif
Masing-masing tahapan tersebut diatas akan melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya, penyelesaian konflik akan melibatkan juga tindakan pencegahan konflik. Pencegahan konflik di satu sisi mengacu pada strategi-strategi untuk mengatasi konflik laten denga harapan dapat mencegah meningkatnya kekerasan, sedangkan resolusi konflik disisi lain mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik) tetapi juga mencapai suatu resolusi diri berbagi perbedaan sasaran yang menjadi penyebab konflik.
Berkaitan dengan konflik dalam masyarakat Indonesia, Sjamsudin (1989: 11) mengusulkan strategi yang dapat ditempuh mencakup (1) Strategi Asimilasi, (2) Strategi Akulturasi, dan (3) Strategi Pluralis. Ketiga strategi tersebut terkait dengan seberapa jauh penghargaan yang diberikan atas unsur-unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat. Strategi asimilasi, akulturasi, dan pluralism masing-masing menunjukkan penghargaan yang secara gradual berbeda dari yang paling kurang, yang lebih, dan yang paling besar penghargaannya terhadap unsur-unsur perbedaan dalam masyarakat, di dalam upaya mewujudkan integrasi nasional tersebut.
Maksud strategi asimilasi adalah adalah mencampurkan dua macam kebudayaan atau lebih menjadi satu kebudayaan yang baru, dimana dengan pencampuran tersebut maka masing-masing unsur budaya melebur menjadi satu sehingga dalam kebudayaan yang baru itu tidak tampak lagi identitas masing-masing budaya pembentuknya. Sedangkan integrasi akulturasi adalah percampuran dua macam kebudayaan atau lebih sehingga memunculkan kebudayaan yang baru, dimana ciri-ciri budaya asli pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru tersebut. Dengan demikian berarti bahwa kebudayaan baru yang terbentuk tidak “melumat” semua unsur budaya pembentuknya. Apabila akulturasi ini menjadi stategi integrasi yang diterapkan oleh pemerintah suatu negaram berarti bahwa negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan megupayakan adanya identitas budaya bersama namun tidak menghilangkan seluruh unsur budaya kelompok atau budaya local.
Adapun strategi pluralis merupakan strategi yang menghargai terdapatnya perbedaan dalam masyarakat. Paham pluralis pada prinsipnya mewujudkan integrasi nasional dengan memberikan kesempatan pada segala unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat untuk hidup dan berkembang. Ini berarti bahwa dengan strategi pluralis, dalam mewujudkan integrasi nasional negara memberikan kesempatan kepada semua unsur keragaman dalam negara, baik suku, agama, budaya daerah, dan perbedaan-perbedaan lainnya untk tumbuh dan berkembang, serta hidup berdampingan secara damai. Jadi integrasi nasional diwujudkan dengan tetpa menghargai terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan multikulturalisme, bahwa setiap unsur perbedaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama, sehingga masing-masing berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Dari penjelasan mengenai integrasi nasional diatas, disadari bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memiliki potensi yang besar pula. Sejak awal berdirinya negara Indoneisa, semangat persatuan telah dicontohkan oleh para pendiri negara dengan mengahargai terdapatnya banyak perbedaan dalam setiap debat politik yang muncul. Banyak contoh yang mencerminkan kesediaan untuk mengalah untuk mengedepankan integrasi nasional. Salah satunya adalah perumusan sila pertama Pancasila yang menghilangkan ‘enam kata’ dari rumusan piagam Jakarta sehingga kita memiliki sila pertama yang menjadi identitas nsional bangsa Indonesia saat ini. Semangat persatuan tersebut tercermin dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan tersebut sama maknanya dengan isitilah “unity in diversity”, yang artinya bersatu dalam keanekaragaman. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika tersebut segala perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagaikeadaan yang menghambat persatuan dan kestuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan budaya yang dapat dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Sifat integrasi nasional Indonesia memiliki corak sendiri yang meminjam istilah Sarlito Wirawan (2012:1) dianalogikan oleh beliau seperti “sayur asem”. Layaknya sayur asem, masing-masing unsur pembentuknya terlihat dengan jelas dan saling melengkapi untuk kelezatan semangkok sayur asem, jagung, melinjo, labu, nangka, kacang-kacangan, dan daun-daunan pembentuk sayur asem dapat dinikmati masing-masing tanpa mengurangi rasa keseluruhan sayur asem tersebut. Hal ini berbeda dengan integrasi di Amerika Serikat, dimana analoginya lebih ke “kopi susu” karena unsur-unsur pembentuknya yaitu air, gula, kopi dan susu melebur menjasi satu ras; yang bersifat melting pot.
.        Faktor-Faktor yang dapat Mengancam  Integrasi

Adapun faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
1.         Kurangnya rasa pengetahuan kita mengenai sejarah-sejarah Indonesia.
2.         Tidak ada rasa memiliki terhadap bangsa (acuh tak acuh)
3.         Hilangnya rasa cinta Tanah Air.
4.         Tidak ada rasa berkorban.
5.         Hilangnya rasa hormat terhadap symbol-simbol Negara (Garuda Pancasila) dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.

Upaya Membangun Integrasi

Menurut Liddle, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila[1][2] :
1.    Sebagian besar anggota Masyarakat bangsa bersepakat tentang batas – batas territorial dari Negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya.
2.    Sebagian anggota masyarakat bangsa bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari pada proses politik  yang berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah Negara.
Dengan perkataan lain, suatu integrasi nasional yang tangguh akan  berkembang di atas konsensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat tersebut. Dan harus memiliki :
1.    Kesadaran dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-sama merupakan warga dari suatu bangsa.
2.    konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan.
Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan  untuk sebagian harus kita temukan dalam proses pertumbuhan pancasila  sebagai dasar falsafah atau ideology Negara. Secara yuridis-formal, pancasila sebagai dasar falsafah Negara. Pada tingkat yang sangat umum telah diterima sebagai kesepakatan nasional serta lahir bersamaan dengan kelahiran Negara republic Indonesia sebagai Negara yang merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain.  Di dalam kenyataan, pancasila menjadi akar dalam sejarah pertumbuhan gerakan nasionalisme.
Bangsa Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain dan dari negara kita sendiri tentang akibat menguatnya primordialisme, sehingga keberadaan dan penguatan lembaga-lembaga integrative seperti sistem pendidikan nasional, birokrasi sipil dan militer, partai-partai politik (ideology nasionalisme yang dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, Sedangkan partai etnik tidak berhasil) harus tetap dilaksanakan dengan mengingat bahwa hal ini adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat kita yang majemuk.
Perlunya lembaga-lembaga pemersatu melalui state building.     Adapun uraian secara singkat tentang lembaga pemersatu yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Birokrasi Sipil dan Militer
Lembaga integrative yang paling dominant dan paling penting yang mutlak diperlukan adalah kekuatan militer (TNI), yang jika diperlukan dapat memakai penguasaan dan monopolinya atas alat-alat kekerasan (alat peralatan perang – alat utama sistem persenjataan) untuk mempertahankan dan bahkan untuk membangun negara bangsa. Dalam kerangka pemikiran tradisional bahkan gejala universal kaum militer di dunia, peranan militer sebagai benteng terakhir (mean of the last resort) mempertahankan kebutuhan negara bangsa. Hal ini dapat dilihat sikap keras dari militer terhadap gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan (primodialisme).
Selain birokrasi militer, proses state building juga mencakup birokrasi sipil yang mempunyai tugas utama menarik pajak dan menyediakan bahan Pokok khususnya bahan Makanan (aparatur pajak sebagai bentuk yang paling tradisional dari demokrasi). Penyediaan bahan Makanan harus tersedia dengan cukup untuk mencegah terjadinya “huruhara kelaparan pangan” atau food riots. Indonesia juga pernah mengalami food riots yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan orde baru tahun 1998 akibat krisis moneter Sejak tahun 1997. Krisis pangan dan moneter juga meruntuhkan pemerintahan di Muangthai dan Korea Selatan, Sedangkan yang selamat hanya Malaysia di bawah PM Mahathir Mohammad.
Birokrasi militer dan sipil di Indonesia sudah berkembang pesat dan mengalami kemajuan baik dari segi jumlah, kualitas, jenjang pangkat maupun penempatan jabatan eselon Pimpinan serta sumber etnik rekrutmen. Dari segi etnik, baik TNI maupun Polri dan PNS baik Pusat maupun daerah sudah meliputi semua etnik group yang ada, sehingga melambangkan Bhineka Tunggal Ika.
2.    Partai Politik.
Dalam sejarahnya Partai Politik merupakan alat mobilisasi vertical yang lebih cepat dibandingkan dengan birokrasi nasional baik birokrasi sipil maupun militer. Dengan sistem Pemilu di Indonesia sekarang merupakan gabungan dari sistem distrik dan sistem proposional, sehingga perwakilan daerah dan etnik terwakili. Maka partai politik mampu menjadi alat integrasi bangsa untuk menekan perlawanan etnik yang minoritas).
3.    Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional menjadi alat integrasi nasional terutama karena sifatnya yang menciptakan elite nasional yang kohesif. Pendidikan nasional mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, menjadi alat pemersatu baik melalui kurikulum nasiional, bahasa pengantar maupun sistem rekrutmen siswa, mahasiswa maupun tenaga pengajar yang bersifat nasional. Dalam suasana otonomi daerah sekarang ini diusahakan adanya ujian lokal tetapi yang berstandar nasional, demikian juga walaupun ada ide untuk menambah muatan kurikulum lokal/kedaerahan, namun tetap kurikulum inti mengajarkan ilmu sosial dan humaniora yang bersifat integratif dan nasional.
Sifat integratif lainnya adalah pemakaian bahasa pengantar yakni bahasa Indonesia sebaga bahasa nasional disamping penggunaan bahasa lokal/daerah yang diberlakukan untuk pendidikan tingkat SD/SLTP. Cara ini akan memudahkan integrasi ke dalam sistem nasional dan sosialisasi yang sama untuk seluruh warga negara.
Sedangkan alat integrasi yang lain adalah rekrutmen siswa, mahasiswa dan tenaga pengajar yang bersifat nasional dan multi etnik, sehingga terjadi proses komunikasi, sosialisasi, asimilasi dan kulturasi dari berbagai etnik di kalangan siswa, mahasiswa dan tenaga pengajar..
4.    Kemajuan Komunikasi dan Transportasi.
Peranan media masa nasional seperti koran, majalah, TVRI, RRI cukup penting di Indonesia sebagai alat integrasi nasional. Banyak koran maupun media masa lainnya yang terbit di Jakarta tetapi penyebarannya menjangkau sampai ke seluruh kabupaten-kabupaten, begitu juga koran lokal yang mampu menembus pasar ke daerah lainnya. Alat komunikasi lainnya adalah telepon, yang mengalami perkembangan pesat sejak pemerintahan orde baru sampai sekarang.
Perkembangan yang cepat dalam bidang transportasi mengakibatkan terjadinya mobilitas geografis penduduk dapat lebih cepat, aman, nyaman, dan murah. Bentuk mobilitas penduduk dapat transmigrasi, migrasi maupun turisme baik antar daerah, nasional, regional bahkan global. Meningkatnya kegiatan mobilitas penduduk dan turisme nasional maupun lokal membawa dampak memperkuat rasa kesatuan dan kebangsaan.

BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
1.      Integrasi nasional adalan suatu konsep dalam ikatan  dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Indonesia yang berkandaskan pada aliran pemikiran atau paham integralistik yang berhubungan dengan paham idealism untuk mengenal dan memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya.
2.      Masyarakat yang plural adalah “Belati” bermata ganda dimana pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan.
3.      Multikulturalisme adalah sebuah ideologiakan yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam  kesedrajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan.
4.      Faktor-faktor yang dapat mengancam integrasi Nasional adalah
Keterbatasan pengetahuan yang dimiliki tentag sejarah-sejarah Indonesia.  Hilangnya rasa cinta tanah Air. Tidak ada rasa berkorban terhadap sesama. Bahkan hilangnya rasa hormat terhadap symbol-simbol Negara (Garuda pancasila) dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
5.      Upaya membanguan integrasi adalah perlu adanya kesadaran dari setiap masyarakat serta upaya perlunya kesadaran dari setiap masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga.

Daftar Pustaka

Nasikun, Sistem Sosial islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 984), cet. 3, hlm. 148

R. William Liddle, Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi, (Jakarta: Pustaka Belajar, 1994), cet 1, hlm. 8105141468
Martini, Pendidikan Kewarganegaraan, UPT MKU UNJ




[1][2] R. William Liddle, Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi, (Jakarta: Pustaka Belajar, 1994),  cet 1, hlm. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar