Nama Kelompok :
Ajeng Bungah Reskina
Nurul Hikmah
Ratih Yuni Pratiwi
Rumiady Desteni Silitonga
Widya Puji Lestari
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dewasa ini, pengetahuan kita
mengenai kebudayaan Indonesia sangatlah kurang, anak muda zaman sekarang lebih
megetahui tentang moderanisasi ketimbang tradisional. Pengaruh kebudayaan luar
menyebabkan kurangnya pengetahuan kita mengenai proses kebudayaan tentang ada di Indonesia. Kurangnya
pengetahuan akan hak dan kewajiban kita sebagai warga Negara menimbulkan
hilangnya rasa persatuan kita baik terhadap sesama maupun Negara. Masing-masing
Individu lebih mementingkan kepentingannya sendiri, tanpa ada rasa peduli
terhadap sesamanya.
Sebagai warga Negara Indonesia yang
baik, haruslah memiliki rasa Integrasi nasional. Yaitu suatu sikaf kepedulian
terhadap sesama serta memiliki rasa persatuan yang tinggi, baik terhadap Bangsa
Negara, Agama serta Keluarga.
Dalam makalah ini, kami ingin
menjelaskan tantang makna Integrasi Nasional, serta penyebab terjadinya
integrasi nasional dan upaya yang harus dilakukan dalam integrasi nasional.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah ada,
maka rumusan permasalahatan yang terkait dengan Integrasi Nasional diantaranya
:
1. Apa definisi Integrasi Nasional
2. Bagaimana gambaran realitas
Indonesia yang plural dan multicultural
3. Bagaimana pentingnya integrasi dalam
masyarakat multicultural
4. Apa potensi konflik dalam masyarakat
plural
5. Apa faktor yang dapat mengancam
integrasi
6. Apa upaya yang dilakukan untuk
membangun integrasi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk
mengetahui tentang integrasi nasional di Indonesia. Serta ingin memperluas ilmu
pengetahuan social.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Integrasi Nasional
Istilah
Integrasi Nasional berasal dari dua kata yakni Integrasi dan Nasional. Menurut
istilah Integrasi mempunyai arti sebagai
pembaruan atau penyatuan, sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
Menurut istilah Nasional mempunyai arti sebagai kebangsaan.
Yang meliputi suatu bangsa seperti ciri-ciri nasional, tarian tradisional,
perusahaan nasional. Sehubungan dengan penjelasan kedua istilah diatas, maka
integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian
suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya ke dalam suatu wilayah dan
pembentukan identitas nasional atau bangsa. Yang harus dapat menjamin
terwujudnya keselarasan dan keseimbangan dalam menapai tujuan bersama sebagai
suatu bangsa.
Integrasi nasional sebagai suatu konsep dalam ikatan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara
Kesatuan Indonesia yang berlandaskan pada aliran pemikiran atau paham
integralistik yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan
memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi nasional
mempunyai arti dua macam, yaitu:
1. Secara
politis, integrasi nasional adalah proses penyatuan berbagai kelompok budaya
dan sosial ke dalam kesatuan wilayah nasional yang membentuk suatu identitas
nasional.
2. Secara
antropologis, integrasi nasional adalah proses penyesuaian di antara
unsur-unsur kebudayaan yang berbeda,
sehingga
mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Perwujudan integrasi nasional masyarakat dan budaya bangsa
Indonesia yang heterogen ( beraneka macam ) itu diungkapkan dalam semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda suku bangsa, agama, budaya
daerah, tetapi tetap satu bangsa.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika pertama
kali diungkapkan oleh seorang Empu terkenal di Kerajaan Majapahit, yaitu Empu
Tantular, dalam kitab Sutasoma.
Menurut
Saafroedin Bahar, integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur
suatu bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya (Bahar, 1998). Dengan demikian,
dalam makna integrasi ada upaya atau usaha untuk menyatukan unsur-unsur yang
semula terpisah-pisah, yang dalam konteks kebangsaan berarti penyatuan (suku)
bangsa yang berbeda dari satu komunitas atau masyarakat menjadi suatu bangsa
yang utuh; sehingga integrasi lebih merupakan peralihan dari masyarakat
berskala kecil menjadi masyarakat yang besar. (Wrigins, 1996).
Lebih
lanjut, Myron Weiner (1971) menjelaskan pengertian integrasi juga terkait
dengan identitas nasional dengan menjelaskan bahwa integrasi menunjuk pada
proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial dalam suatu wilayah dan
proses pembentukan identitas nasional; membangun rasa kebangsaan dengan cara
menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan yang lebih sempit; ini disebutnya
sebagai integrasi nasional. Selain integrasi nasional, Weiner juga menyebut
integrasi wilayah (pembentukan wewenang pusat atas unit-unit sosial lebih
kecil), integrasi nilai (mendekatkan perbedaan-perbedaan aspirasi dan nilai
antar kelompok), integrasi elit-massa (consensus terhadap nilai minimum yang
disepakati untuk memelihara tertib sosial), dan integrasi tingkah laku
(penciptaan tingkah laku yang terintegrasi untuk tujuan bersama).
Howard
Wriggins (1996) menjelaskan proses pembentukan integrasi nasional yang terkait
dengan faktor yang pada akhirnya memnentukan karakter integrasi nasional
dimaksud, yaitu :
1. Adanya
ancaman dari luar
2. Gaya
politik kepemimpinan yang diterapkan
3. Kekuatan
lembaga-lembaga politik
4. Ideology
nasional
5. Kesempatan
pembangunan ekonomi
Oleh
karena itu, proses integrasi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal
dalam suatu masyarakat bangsa. Menurut Sunyoto Usman (1998), suatu masyarakat
dapat terintegrasi dengan baik apabila:
1. Masyarakat
dapat menemukan dan menyepakati nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan
rujukan bersama,
2. Masyarakat
terhimpun dalam unit sosial dan sekaligus memiliki “cross cutting affiliation”
sehingga menghasilkan “cross cutting layality”.
3. Masyarakat
berada di atas saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun
di dalamnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Dapat
dikatakan bahwa integrasi terbentuk berdasarkan adanya perbedaan-perbedaan yang
timbul antar komunitas yang berpotensi konflik, dan untuk mencegah konflik
meruncing dan menjadi masalah serius, disepakatilah kondisi tertentu sesuai
dengan dinamika masyarakat dimaksud sehingga tercapai tertib sosial yang
diinginkan.
Gambaran Realitas Indonesia yang
Plural dan Multikultural
Manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga
pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Corak
masyarakat Indonesia adalah ber-Bhenika Tungal Ika, bukan lagi keanekaragaman
suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada
dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia dilihat
memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat.
Masyarakat yang plural merupakan “belati” bermata ganda
dimana pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan. Pemahaman pluralitas
sebagai rahmat adalah keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan
bukan hanya dengan kompetensi ketrampilan, melainkan lebih banyak terkait
dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.
Sedangkan pluralitas sebagai kutukan akan menimbulkan sikap
penafian terhadap yang lain, baik individu ataupun kelompok, karena dianggap
berbeda dengan dirinya, dan perbedaan dianggap menyimpang atau salah. Penafian
terhadap yang lain, pada hakekatnya adalah pemaksaan keseragaman dan
menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu atau komunitas.
Menurut Suparlan yang mengutip dari Fay, Jary dan J.
Jary dalam acuan utama masyarakat yang multikultural adalah multikulturalisme,
yakni sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesedrajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada
tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme”
merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat
kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai
masyarakat multicultural dan multilingual.
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah.
Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang
berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya.
Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan
sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut
memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tentang
multikulturalisme memiliki dua ciri utama yakni :
1.
kebutuhan terhadap pengakuan (the
need of recognition).
2.
legitimasi keanekaragaman budaya
atau pluralisme budaya.
Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin the
greatest good for the greates number yang terkenal dengan prinsip
demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada self interest dan
aspirasi pengenal dari seseorang.
Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya,
posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi
memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip yakni :
1.
Setiap manusia harus memiliki
maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain.
2.
Setiap ketidaksamaan ekonomi
haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi yang tidak memperoleh
keberuntungan.
Menurutnya
institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokrasi
konstitusional.
Azyumardi Azra mengatakan, bahwa konsep kerangka masyarakat
multikultural dan multi kulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di
Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip
negara ber-Bhenika Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah
masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan.
Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri
bangsa dalam rangka mendisein kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi
orang Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing. Konsep
multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa
atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep
multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan.
Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung
ideologi, politik, demokrasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika
dan moral dan peningkatan mutu produktivitas.
Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah
ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya
demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai
ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya.
Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna
memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam memahami
multiklturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang
relevan dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme
dalam kehidupan.
Akar dari multikulturalisme adalah
kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan yang
tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme
merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiaannya.
Pentingnya integrasi nasional dalam
masyarakat pluralitas
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang pluralistic dengan ribuan suku bangsa yang
memiliki anera ragam cara hidup, nilai, norma, adat, dan budaya yang berpotensi
konflik. Sejarah kebangsaan Indonesia telah mencatat beberapa peristiwa yang
berujung pada ancaman disintegrasi karena tajamnya konflik yang muncul. Konflik
Poso, Papua, Aceh, dan Timor Timur yang berhasil secara resmi lepas dari
Indonesia membuktikan bahwa masyarakat plural seperti Indonesia sangat
memerlukan konsep dan wadah yang dapat mempersatukan suku-suku bangsa tersebut.
Identitas nasional adalah konsep pemersatu dimaksud dan untegrasi nasional
adalah rencana aksinya.
v Pluralitas
Masyarakat Indonesia
Pluralitas
masyarakat Indonesia mencakup berbagai aspek: agama, sosial, adat istiadat, dan
budaya. Dalam perspektif budaya, keberagaman dimaksud disebut multikultur.
Masyarakat multikultur menurut Parekh (2008:12) adalah suatu masyarakat yang
terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan
sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk
organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society,
then is one that includes several cultural communities with their overlapping
but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values,
forms of social organizations, historis, customs, and practices”).
Dengan
demikian, basis keberagaman bangsa Indonesia adalah komunitas budaya yang
diwakili oleh suku bangsa-suku bangsa. Menurut data Badan Pusat Statistika, ada
sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia berdasarkan hasil sensus 2010 dengan
leboh dari 300 kelompok etnik. Satu kelompok etnik bisa terdiri dari beberapa
suku bangsa. Sebagai gambaran proporsi suku bangsa menurut hasil sensus BPS
2010 di atas, terlihat sebagai berikut:
Suku Bangsa
|
Populasi
|
Presentasi
|
Kawasan Utama
|
Suku Jawa
|
86,012
|
41,7
|
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung
|
Suku Sunda
|
31, 765
|
15,4
|
Jawa Barat
|
Tionghoa – Indonesia
|
7,776
|
3,7
|
Jabodetabek, Bandung, Kalimantan
Barat, Surabaya, Banga Belitung, Kepulauan Riau, Medan, Bagan Siapi-api,
Jambi, Palembang, Makassar, Manado
|
Suku Melayu
|
7,013
|
3,4
|
Pesisir Timur Sumatra, Kalimantan
Barat
|
Suku Madura
|
6,807
|
3,3
|
Pulau Madura
|
Suku Batak
|
6,188
|
3,0
|
Sumatera Utara
|
Minangkabau
|
5,569
|
2,7
|
Sumatera Barat, Riau
|
Suku Betawi
|
5,157
|
2,5
|
Jakarta
|
Suku Bugis
|
5,157
|
2,5
|
Sulawesi Selatan
|
Arab - Indonesia
|
5,000
|
2,4
|
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah
|
Suku Banten
|
4,331
|
2,1
|
Banten
|
Suku Banjar
|
3,506
|
1,7
|
Kalimantan Selatan
|
Suku Bali
|
3,094
|
1,5
|
Pulau Bali
|
Suku Sasak
|
2,681
|
1,3
|
Pulau Lombok
|
Suku Makassar
|
2,063
|
1,0
|
Sulawesi Selatan
|
Suku Cirebon
|
1,856
|
0,9
|
Jawa Barat
|
Pluralitas
masyarakat Indonesia menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang majemuk.
Menurut Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang
terbagi-bagi ke dalam sub – sub sistem yang kurang lebih berdiri
sendiri-sendiri, dalam masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan –
ikatan yang bersifat primordial. (Geertz, 1963: 105 dst). Apa yang dikatakan
sebagai ikatan sebagai ikatan primordial disini adalah ikatan yang muncul dari
perasaan yang lahir dari apa yang ada dalam kehidupan sosial, yang sebagian
besar berasal dari hubungan kelurga, ikatan kesukuan tertentu, keanggotaan
dalam keagamaan tertentu, budaya, bahasa atau dialek tertentu, serta
kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang membawakan ikatan yang sangat kuat dalam
kehidupan masyarakat.
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik. Secara horizontal
masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, serta
perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertical sturktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup tajam. (Nasikun, 1994: 28).
Dalam
dimensi horizontal kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari adanya
berbagai macam suku bangsa seperti suku bangsa Jawa, suku bangsa Sunda, suku
bangsa Batak, suku bangsa Minangkabau, suku bangsa Dayak, dan masih banyak yang
lain. Tentang berapa jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia, ternyata
terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara para ahli tentang Indonesia.
Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya leboh dari 300 suku bangsa di
Indonesia dengan bahasa dan identitas kulturalnya masing-masing. Sedangkan
Skinner menyebutkan lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia dengan bahasa dan
adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang mencolok dari jumlah
suku bangsa yang disebutkan di atas bisa terjadi karena perbedaan dalam melihat
unsur-unsur keragaman pada masing-masing suku bangsa tersebut. Anggota
masing-masing suku bangsa cenderung memiliki identitas tersendiri sebagai
anggota suku bangsa yang bersangkutan, sehingga dalam keadaan tertentu mereka
mewujudkan rasa setiakawan, solidaritas dengan sesame suku bangsa asal.
(Bachtiar, 1992: 12).
Berkaitan
erat dengan keragaman suku sebagaimana dikemukakan di atas adalah keragaman
adat-istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Setiap suku bangsa yang ada di
Indonesia masing-masing memilliki adat istiadat, budaya, dan bahasanya yang
berbeda satu sama lain, yang sekarang dikenal sebagai adat-istiadat, budaya,
dan bahasa daerah. Kebudayaan suku selain terdiri atas nilai-nilai dan
aturan-aturan tertentu, juga terdiri atas kepercayaan-kepercayaan tertentu,
pengetahuan tertentu, serta sastra dan seni yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebanyak suku bangsa yang ada di
Indonesia, setidak-tidaknya sebanyak itu pula dapat dijumpai keragaman
adat-istiadat, budaya serta bahasa daerah di Indonesia.
Dalam
perkembangannya, batasan suku bangsa tidak lagi mangcu pada suku bangsa asli
Indonesia. Berdasarkan data statistik di atas, Tinghoan dan Arab dimasukan
sebagai kelompok etnis yang jumlahnya proporsinya di Indonesia cukup
signifikan. Kelompok etnis ini juga memiliki kebudayaannya tersendiri, yang
tidak mesti sama dengan budaya suku-suku asli di Indonesia, sehingga muncul
budaya orang-orang Cina, budaya orang Arab, budaya orang India, dan lain-lain.
Kadang-kadang mereka juga menampakkan diri dalam kesatuan tempat tinggal,
sehingga di kota-kota besar di Indonesia dijumpai adanya sebutan Kampung
Pecinan, Kampung Arab, dan mungkin masih ada yang lain.
Keberagaman
suku bangsa di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas terutama disebabkan oleh
keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah
pulang yang sangat banyak dan letaknya yang saling berjauhan. Dalam kondisi
yang demikian nenek moyang Indonesia yang kira-kira 2000 tahun SM secara
bergelombang datang dari daerah yang sekarang dikenal sebagai daerah Tiongkok
Selatan, mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah satu sama lain.
Karena isolasi geografis antara satu pulau dengan pulau yang lain,
mengakibatkan masing-masing penghuni pulau itu dalam waktu yang cukup lama
mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri terpisah satu sama lain. Di situlah
secara perlahan-lahan identitas kesukuan itu terbentuk, atas keyakinan bahwa
mereka masing-masing berasal dari satu nenek moyang, dan memiliki kebudayaan
yang berada dari kebudayaan suku yang lain.
Kemajemukan
lainnya dalam masyarakat Indonesia ditampilkan dalam wujud keberagaman agama.
Menurut penjelasan pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1/Pnps Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, agama yang dimaskud disini
adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini
dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Ini tidak
berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan
oleh pasal 29 ayat 2 asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan Penpres atau
peraturan perundangan lainnya.
Beragamnya
agama di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari sejarah dan letak geografis Indonesia yang berada diantara Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia. Posisi ini memungkinkan Indonsia mengalami arus lalu lintas
perdagangan dan mendapatkan pengaruh budaya dari para pedagang yang melintas di
wilayah tersebut termasuk agama yang dianut oleh para pedagang tersebut.
Tercatat bahwa agama pertama yang berpengaruh di Indonesia adalah agama Hindu
dan Budha yang dibawa oleh para pedagang dari India kira-kira pada tahun 400
Masehi disusul dengan Islam kira-kira pada tahun 1300 Masehi. Kemudian agama
Kristen dan Katholik masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Eropa kira-kira
tahun 1500 Masehi.
Strategi mewujudkan integrasi
nasional di Indonesia
Mengingat potensi konflik dalam masyarakat yang
besar, maka perlu disusun strategi pengelolaan dan penyelesain konflik dimaksud
demi terwujudnya integrasi nasional. Terdapat beberapa pendekatan dalam upaya
menangani konflik yang kadang-kadang juga dipandang sebagai suatu proses.
Secara umum, menurut Fisher pengelolaan konflik dilaksanakan dalam tahapan:
ü Pencegahan
konflik, merupakan upaya untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
ü Penyelesaian
konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan
perdamaian
ü Pengelolaan
konflik bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong
perubahan perilaku pihak-pihak yang terlibat ke arah positif
ü Resolusi
konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang
bisa tahan lama antara pihak-pihak yang bersengketa
ü Transformasi
konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan
berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan
politik yang positif
Masing-masing
tahapan tersebut diatas akan melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya,
penyelesaian konflik akan melibatkan juga tindakan pencegahan konflik.
Pencegahan konflik di satu sisi mengacu pada strategi-strategi untuk mengatasi
konflik laten denga harapan dapat mencegah meningkatnya kekerasan, sedangkan
resolusi konflik disisi lain mengacu pada strategi-strategi untuk menangani
konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk
mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik) tetapi juga mencapai suatu resolusi
diri berbagi perbedaan sasaran yang menjadi penyebab konflik.
Berkaitan
dengan konflik dalam masyarakat Indonesia, Sjamsudin (1989: 11) mengusulkan
strategi yang dapat ditempuh mencakup (1) Strategi Asimilasi, (2) Strategi
Akulturasi, dan (3) Strategi Pluralis. Ketiga strategi tersebut terkait dengan
seberapa jauh penghargaan yang diberikan atas unsur-unsur perbedaan yang ada
dalam masyarakat. Strategi asimilasi, akulturasi, dan pluralism masing-masing
menunjukkan penghargaan yang secara gradual berbeda dari yang paling kurang,
yang lebih, dan yang paling besar penghargaannya terhadap unsur-unsur perbedaan
dalam masyarakat, di dalam upaya mewujudkan integrasi nasional tersebut.
Maksud
strategi asimilasi adalah adalah mencampurkan dua macam kebudayaan atau lebih
menjadi satu kebudayaan yang baru, dimana dengan pencampuran tersebut maka
masing-masing unsur budaya melebur menjadi satu sehingga dalam kebudayaan yang
baru itu tidak tampak lagi identitas masing-masing budaya pembentuknya.
Sedangkan integrasi akulturasi adalah percampuran dua macam kebudayaan atau
lebih sehingga memunculkan kebudayaan yang baru, dimana ciri-ciri budaya asli
pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru tersebut. Dengan demikian
berarti bahwa kebudayaan baru yang terbentuk tidak “melumat” semua unsur budaya
pembentuknya. Apabila akulturasi ini menjadi stategi integrasi yang diterapkan
oleh pemerintah suatu negaram berarti bahwa negara mengintegrasikan
masyarakatnya dengan megupayakan adanya identitas budaya bersama namun tidak
menghilangkan seluruh unsur budaya kelompok atau budaya local.
Adapun
strategi pluralis merupakan strategi yang menghargai terdapatnya perbedaan
dalam masyarakat. Paham pluralis pada prinsipnya mewujudkan integrasi nasional
dengan memberikan kesempatan pada segala unsur perbedaan yang ada dalam
masyarakat untuk hidup dan berkembang. Ini berarti bahwa dengan strategi
pluralis, dalam mewujudkan integrasi nasional negara memberikan kesempatan
kepada semua unsur keragaman dalam negara, baik suku, agama, budaya daerah, dan
perbedaan-perbedaan lainnya untk tumbuh dan berkembang, serta hidup
berdampingan secara damai. Jadi integrasi nasional diwujudkan dengan tetpa
menghargai terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Hal ini sejalan
dengan pandangan multikulturalisme, bahwa setiap unsur perbedaan memiliki nilai
dan kedudukan yang sama, sehingga masing-masing berhak mendapatkan kesempatan
untuk berkembang.
Dari
penjelasan mengenai integrasi nasional diatas, disadari bahwa bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang besar memiliki potensi yang besar pula. Sejak awal
berdirinya negara Indoneisa, semangat persatuan telah dicontohkan oleh para
pendiri negara dengan mengahargai terdapatnya banyak perbedaan dalam setiap
debat politik yang muncul. Banyak contoh yang mencerminkan kesediaan untuk
mengalah untuk mengedepankan integrasi nasional. Salah satunya adalah perumusan
sila pertama Pancasila yang menghilangkan ‘enam kata’ dari rumusan piagam
Jakarta sehingga kita memiliki sila pertama yang menjadi identitas nsional
bangsa Indonesia saat ini. Semangat persatuan tersebut tercermin dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda beda tetapi tetap satu
adanya. Semboyan tersebut sama maknanya dengan isitilah “unity in diversity”,
yang artinya bersatu dalam keanekaragaman. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika
tersebut segala perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagaikeadaan yang
menghambat persatuan dan kestuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan budaya yang
dapat dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Sifat
integrasi nasional Indonesia memiliki corak sendiri yang meminjam istilah
Sarlito Wirawan (2012:1) dianalogikan oleh beliau seperti “sayur asem”.
Layaknya sayur asem, masing-masing unsur pembentuknya terlihat dengan jelas dan
saling melengkapi untuk kelezatan semangkok sayur asem, jagung, melinjo, labu,
nangka, kacang-kacangan, dan daun-daunan pembentuk sayur asem dapat dinikmati
masing-masing tanpa mengurangi rasa keseluruhan sayur asem tersebut. Hal ini
berbeda dengan integrasi di Amerika Serikat, dimana analoginya lebih ke “kopi
susu” karena unsur-unsur pembentuknya yaitu air, gula, kopi dan susu melebur
menjasi satu ras; yang bersifat melting pot.
.
Faktor-Faktor yang dapat Mengancam Integrasi
Adapun faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai
berikut:
1. Kurangnya
rasa pengetahuan kita mengenai sejarah-sejarah Indonesia.
2. Tidak ada
rasa memiliki terhadap bangsa (acuh tak acuh)
3. Hilangnya
rasa cinta Tanah Air.
4. Tidak ada
rasa berkorban.
5. Hilangnya
rasa hormat terhadap symbol-simbol Negara (Garuda Pancasila) dengan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika.
Upaya Membangun Integrasi
Menurut Liddle, suatu integrasi
nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila[1][2] :
1. Sebagian besar anggota Masyarakat
bangsa bersepakat tentang batas – batas territorial dari Negara sebagai suatu
kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya.
2. Sebagian anggota masyarakat bangsa
bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari pada proses
politik yang berlaku bagi seluruh
masyarakat diatas wilayah Negara.
Dengan perkataan lain, suatu integrasi nasional yang tangguh
akan berkembang di atas konsensus
nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat tersebut. Dan harus memiliki :
1. Kesadaran
dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-sama merupakan warga dari suatu
bangsa.
2. konsensus
nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus
diwujudkan atau diselenggarakan.
Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus
diwujudkan atau diselenggarakan untuk
sebagian harus kita temukan dalam proses pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideology Negara.
Secara yuridis-formal, pancasila sebagai dasar falsafah Negara. Pada tingkat
yang sangat umum telah diterima sebagai kesepakatan nasional serta lahir
bersamaan dengan kelahiran Negara republic Indonesia sebagai Negara yang
merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain.
Di dalam kenyataan, pancasila menjadi akar dalam sejarah pertumbuhan
gerakan nasionalisme.
Bangsa Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengalaman
negara-negara lain dan dari negara kita sendiri tentang akibat menguatnya
primordialisme, sehingga keberadaan dan penguatan lembaga-lembaga integrative
seperti sistem pendidikan nasional, birokrasi sipil dan militer, partai-partai
politik (ideology nasionalisme yang dapat menjembatani perbedaan etnik yang
tajam, Sedangkan partai etnik tidak berhasil) harus tetap dilaksanakan dengan
mengingat bahwa hal ini adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat kita yang
majemuk.
Perlunya lembaga-lembaga pemersatu melalui state
building. Adapun uraian secara
singkat tentang lembaga pemersatu yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut
:
1.
Birokrasi Sipil dan Militer
Lembaga integrative yang paling dominant dan paling penting
yang mutlak diperlukan adalah kekuatan militer (TNI), yang jika diperlukan
dapat memakai penguasaan dan monopolinya atas alat-alat kekerasan (alat
peralatan perang – alat utama sistem persenjataan) untuk mempertahankan dan
bahkan untuk membangun negara bangsa. Dalam kerangka pemikiran tradisional
bahkan gejala universal kaum militer di dunia, peranan militer sebagai benteng
terakhir (mean of the last resort) mempertahankan kebutuhan negara bangsa. Hal
ini dapat dilihat sikap keras dari militer terhadap gerakan-gerakan separatis
maupun kedaerahan (primodialisme).
Selain birokrasi militer, proses state building juga mencakup
birokrasi sipil yang mempunyai tugas utama menarik pajak dan menyediakan bahan
Pokok khususnya bahan Makanan (aparatur pajak sebagai bentuk yang paling
tradisional dari demokrasi). Penyediaan bahan Makanan harus tersedia dengan
cukup untuk mencegah terjadinya “huruhara kelaparan pangan” atau food riots.
Indonesia juga pernah mengalami food riots yang menyebabkan runtuhnya
pemerintahan orde baru tahun 1998 akibat krisis moneter Sejak tahun 1997.
Krisis pangan dan moneter juga meruntuhkan pemerintahan di Muangthai dan Korea
Selatan, Sedangkan yang selamat hanya Malaysia di bawah PM Mahathir Mohammad.
Birokrasi militer dan sipil di Indonesia sudah berkembang
pesat dan mengalami kemajuan baik dari segi jumlah, kualitas, jenjang pangkat
maupun penempatan jabatan eselon Pimpinan serta sumber etnik rekrutmen. Dari
segi etnik, baik TNI maupun Polri dan PNS baik Pusat maupun daerah sudah
meliputi semua etnik group yang ada, sehingga melambangkan Bhineka Tunggal Ika.
2.
Partai Politik.
Dalam sejarahnya Partai Politik merupakan alat mobilisasi
vertical yang lebih cepat dibandingkan dengan birokrasi nasional baik birokrasi
sipil maupun militer. Dengan sistem Pemilu di Indonesia sekarang merupakan
gabungan dari sistem distrik dan sistem proposional, sehingga perwakilan daerah
dan etnik terwakili. Maka partai politik mampu menjadi alat integrasi bangsa
untuk menekan perlawanan etnik yang minoritas).
3.
Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional menjadi alat integrasi nasional
terutama karena sifatnya yang menciptakan elite nasional yang kohesif.
Pendidikan nasional mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, menjadi alat
pemersatu baik melalui kurikulum nasiional, bahasa pengantar maupun sistem
rekrutmen siswa, mahasiswa maupun tenaga pengajar yang bersifat nasional. Dalam
suasana otonomi daerah sekarang ini diusahakan adanya ujian lokal tetapi yang
berstandar nasional, demikian juga walaupun ada ide untuk menambah muatan
kurikulum lokal/kedaerahan, namun tetap kurikulum inti mengajarkan ilmu sosial
dan humaniora yang bersifat integratif dan nasional.
Sifat integratif lainnya adalah pemakaian bahasa pengantar
yakni bahasa Indonesia sebaga bahasa nasional disamping penggunaan bahasa
lokal/daerah yang diberlakukan untuk pendidikan tingkat SD/SLTP. Cara ini akan
memudahkan integrasi ke dalam sistem nasional dan sosialisasi yang sama untuk
seluruh warga negara.
Sedangkan alat integrasi yang lain adalah rekrutmen siswa,
mahasiswa dan tenaga pengajar yang bersifat nasional dan multi etnik, sehingga
terjadi proses komunikasi, sosialisasi, asimilasi dan kulturasi dari berbagai
etnik di kalangan siswa, mahasiswa dan tenaga pengajar..
4.
Kemajuan Komunikasi dan
Transportasi.
Peranan media masa nasional seperti koran, majalah, TVRI,
RRI cukup penting di Indonesia sebagai alat integrasi nasional. Banyak koran
maupun media masa lainnya yang terbit di Jakarta tetapi penyebarannya
menjangkau sampai ke seluruh kabupaten-kabupaten, begitu juga koran lokal yang
mampu menembus pasar ke daerah lainnya. Alat komunikasi lainnya adalah telepon,
yang mengalami perkembangan pesat sejak pemerintahan orde baru sampai sekarang.
Perkembangan yang cepat dalam bidang transportasi
mengakibatkan terjadinya mobilitas geografis penduduk dapat lebih cepat, aman,
nyaman, dan murah. Bentuk mobilitas penduduk dapat transmigrasi, migrasi maupun
turisme baik antar daerah, nasional, regional bahkan global. Meningkatnya
kegiatan mobilitas penduduk dan turisme nasional maupun lokal membawa dampak
memperkuat rasa kesatuan dan kebangsaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Integrasi nasional adalan suatu konsep dalam ikatan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara
Kesatuan Indonesia yang berkandaskan pada aliran pemikiran atau paham
integralistik yang berhubungan dengan paham idealism untuk mengenal dan
memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya.
2. Masyarakat yang plural adalah “Belati” bermata ganda dimana
pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan.
3. Multikulturalisme adalah sebuah ideologiakan yang mengakui
dan mengagungkan perbedaan dalam kesedrajatan baik secara individu
ataupun secara kebudayaan.
4. Faktor-faktor yang dapat mengancam integrasi Nasional adalah
Keterbatasan pengetahuan yang
dimiliki tentag sejarah-sejarah Indonesia.
Hilangnya rasa cinta tanah Air. Tidak ada rasa berkorban terhadap
sesama. Bahkan hilangnya rasa hormat terhadap symbol-simbol Negara (Garuda
pancasila) dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
5. Upaya membanguan integrasi adalah perlu adanya kesadaran
dari setiap masyarakat serta upaya perlunya kesadaran dari setiap masyarakat
akan hak dan kewajibannya sebagai warga.
Daftar
Pustaka
Nasikun,
Sistem Sosial islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 984), cet. 3, hlm.
148
R. William Liddle, Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi, (Jakarta: Pustaka Belajar, 1994), cet 1, hlm. 8105141468
R. William Liddle, Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi, (Jakarta: Pustaka Belajar, 1994), cet 1, hlm. 8105141468
Martini,
Pendidikan Kewarganegaraan, UPT MKU UNJ
[1][2]
R. William Liddle, Struktur Masyarakat
Indonesia dan Masalah Integrasi, (Jakarta: Pustaka Belajar, 1994), cet 1, hlm. 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar